Menelusuri Jejak Sedayu yang Pernah Terpisah dari Gresik
Kabupaten Sendiri di Bawah Mataram
Kabupeten Gresik terbagi menjadi 18 kecamatan. Salah satunya adalah Kecamatan Sidayu. Konon, Sidayu adalah kadipaten setingkat kabupaten yang terpisah dari Gresik.
---
DI masa lalu, nama Sidayu memang lebih tersohor dibanding Gresik. Sampai saat ini, bukti-bukti kejayaan dan kebesaran wilayah yang berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Gresik itu masih bisa dilihat.
Salah satunya adalah bangunan yang dulu menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sedayu. Saat ini, bangunan itu menjadi Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Sidayu.
Jejak sejarah lain adalah alun-alun Sidayu dan masjid Agung. Ketiga tetenger tadi seakan menjadi satu kesatuan pemerintahan Sidayu di masa lampau.
Meski kondisi bangunan bersejarah itu kini kurang terawat, namun bisa menjadi pengingat bahwa pernah ada pemerintahan besar di wilayah Pantai Utara tersebut. Seharusnya, bangunan itu menjadi cagar budaya.
Nama resminya selama menjadi kabupaten adalah Sedayu. Perkembangan zaman mengubah namanya menjadi Sidayu. Saat menjadi kabupaten yang terpisah dari Gresik, Sidayu langsung di bawah pemerintah Kerajaan Mataram. Wilayah Kabupaten Sedayu sampai ke Tuban, Bojonegoro, Lamongan, hingga Mojokerto.
Saat itu, yang memegang tampuk kekuasan di Kerajaan Mataram adalah Prabu Amangkurat I. Yang menduduki posisi sebagai adipati atai bupati di Sedayu adalah Raden Kromo Widjodjo.
Kabupaten Sedayu mencapai puncak zaman keemasannya saat dipimpin Kanjeng Sepuh, yang merupakan bupati kedelapan. Rakyat begitu mengagungkannya sehingga menganggap Kanjeng Sepuh sebagai aulia dan pemimpin besar.
Di masa kepemimpinannya, Kanjeng Sepuh dikenal kritis terhadap kekuasaan dan kooptasi Belanda atau kerajaan lain. Gaya kepemimpinannya sangat prorakyat. Beliau memerintah Sedayu selama 39 tahun, mulai 1816-1855.
Kepemimpinan prorakyat Kanjeng Sepuh terlihat dari sikapnya yang terus menantang kebijakan kolonialis Belanda terutama yang menyangkut pajak. Menurut Amrullah, tokoh muda yang masih punya hubungan darah dengan Kanjeng Sepuh, beliau menolak diskriminasi.
Kanjeng Sepuh jugalah yang mengusulkan nama sebuah pasar di Surabaya sebagai Pasar Kabean yang artinya ''untuk semua''. Pasar itu kini lebih dikenal sebagai Pasar Pabean.
Amrullah menuturkan, buyut moyangnya itu juga dikenal suka memantau kehidupan rakyatnya di malam hari. Beliau sering berkeliling untuk mendengar keluhan dan menyaksikan langsung kehidupan rakyat Sedayu. ''Beliau sering menjelajah wilayah Sedayu sampai ke Lamongan, Babat, dan Jombang untuk melihat keseharian dan problem masyarakatnya," ujar Amrullah.
Sampai saat ini pun, warga masyarakat Sedayu masih mengenangnya sebagai tokoh besar. Wujudnya, setiap tahun masyarakata mengadakan peringatan ulang tahun kelahiran dengan istighotsah di Masjid Agung Kanjeng Sepuh Sedayu. Prosesi itu menjadi tradisi masyarakat untuk mengenang jasa bupati yang bergelar lengkap Kiai Panembahan Haryo Soeryo Diningrat, yang meninggal pada 1856. (yad/ris/ruk)
Kabupeten Gresik terbagi menjadi 18 kecamatan. Salah satunya adalah Kecamatan Sidayu. Konon, Sidayu adalah kadipaten setingkat kabupaten yang terpisah dari Gresik.
---
DI masa lalu, nama Sidayu memang lebih tersohor dibanding Gresik. Sampai saat ini, bukti-bukti kejayaan dan kebesaran wilayah yang berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Gresik itu masih bisa dilihat.
Salah satunya adalah bangunan yang dulu menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sedayu. Saat ini, bangunan itu menjadi Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Sidayu.
Jejak sejarah lain adalah alun-alun Sidayu dan masjid Agung. Ketiga tetenger tadi seakan menjadi satu kesatuan pemerintahan Sidayu di masa lampau.
Meski kondisi bangunan bersejarah itu kini kurang terawat, namun bisa menjadi pengingat bahwa pernah ada pemerintahan besar di wilayah Pantai Utara tersebut. Seharusnya, bangunan itu menjadi cagar budaya.
Nama resminya selama menjadi kabupaten adalah Sedayu. Perkembangan zaman mengubah namanya menjadi Sidayu. Saat menjadi kabupaten yang terpisah dari Gresik, Sidayu langsung di bawah pemerintah Kerajaan Mataram. Wilayah Kabupaten Sedayu sampai ke Tuban, Bojonegoro, Lamongan, hingga Mojokerto.
Saat itu, yang memegang tampuk kekuasan di Kerajaan Mataram adalah Prabu Amangkurat I. Yang menduduki posisi sebagai adipati atai bupati di Sedayu adalah Raden Kromo Widjodjo.
Kabupaten Sedayu mencapai puncak zaman keemasannya saat dipimpin Kanjeng Sepuh, yang merupakan bupati kedelapan. Rakyat begitu mengagungkannya sehingga menganggap Kanjeng Sepuh sebagai aulia dan pemimpin besar.
Di masa kepemimpinannya, Kanjeng Sepuh dikenal kritis terhadap kekuasaan dan kooptasi Belanda atau kerajaan lain. Gaya kepemimpinannya sangat prorakyat. Beliau memerintah Sedayu selama 39 tahun, mulai 1816-1855.
Kepemimpinan prorakyat Kanjeng Sepuh terlihat dari sikapnya yang terus menantang kebijakan kolonialis Belanda terutama yang menyangkut pajak. Menurut Amrullah, tokoh muda yang masih punya hubungan darah dengan Kanjeng Sepuh, beliau menolak diskriminasi.
Kanjeng Sepuh jugalah yang mengusulkan nama sebuah pasar di Surabaya sebagai Pasar Kabean yang artinya ''untuk semua''. Pasar itu kini lebih dikenal sebagai Pasar Pabean.
Amrullah menuturkan, buyut moyangnya itu juga dikenal suka memantau kehidupan rakyatnya di malam hari. Beliau sering berkeliling untuk mendengar keluhan dan menyaksikan langsung kehidupan rakyat Sedayu. ''Beliau sering menjelajah wilayah Sedayu sampai ke Lamongan, Babat, dan Jombang untuk melihat keseharian dan problem masyarakatnya," ujar Amrullah.
Sampai saat ini pun, warga masyarakat Sedayu masih mengenangnya sebagai tokoh besar. Wujudnya, setiap tahun masyarakata mengadakan peringatan ulang tahun kelahiran dengan istighotsah di Masjid Agung Kanjeng Sepuh Sedayu. Prosesi itu menjadi tradisi masyarakat untuk mengenang jasa bupati yang bergelar lengkap Kiai Panembahan Haryo Soeryo Diningrat, yang meninggal pada 1856. (yad/ris/ruk)
Keruntuhan Sedayu Terus Jadi Misteri
MESKI saat ini hanya berstatus sebagai kecamatan, hampir seluruh literatur sejarah menyebutkan jika Sidayu merupakan sebuah kota besar. Seiring perkembangan zaman, tepatnya pada 1974, daerah ini masuk dalam wilayah Gresik. Hanya saja, masih banyak misteri seputar Sidayu yang sampai saat ini belum terungkap.
Menurut sejarawan Gresik M Thoha, Sidayu dulunya adalah sebuah kadipaten pada masa pemerintahan kerajaan Mataram. Awal berdirinya diperkirakan pada tahun 1675.
Dalam perkembangannya, Sidayu memiliki hubungan erat dengan Surowiti (kini salah satu desa di kecamatan) Panceng. "Dulu, tokoh-tokoh dari Surowiti merupakan para pelindung kanjeng Sepuh Sidayu. Berbagai aspek menjadi bukti sahih jika Sidayu adalah bagian dari kerajaan Mataram," katanya.
Salah satu bukti sejarah itu adalah struktur tata kota yang mengadopsi kerajaan Mataram. Beberapa fasilitas sudah tersedia di sana. Mulai dari alun-alun yang luas, lantas ada masjid di sebelah alun-alun, hingga adanya kampung kauman di sekitar alun-alun dan masjid. "Konsep penataan kota itu persis dengan Mataram," kata Thoha.
Selain itu, kata Thoha, Sidayu juga memiliki kawasan bisnis. Yakni di Sidagaran (kini menjadi sebuah nama desa). Di sanalah, tempat berkumpulnya para pelaku bisnis zaman itu. Belum termasuk keberadaan pelabuhan Srowo. Sehingga, pada masa itu, perekonomian di kadipaten Sidayu sangat mapan.
Seiring berjalannya sejarah, pada pertengahan abad 18, peradaban Kadipaten Sidayu runtuh. Yakni semenjak penyerbuan terhadap Kanjeng Sepuh Sedayu oleh tentara asing.
Seiring perkembangan waktu, perubahan pun terjadi. Gresik yang dulunya adalah bagian dari kabupaten Surabaya, akhirnya berubah menjadi kabupaten sendiri. "Dan Sidayu pun masuk menjadi bagian dari kabupaten Gresik," katanya.
Hanya saja, tetap saja sejarah runtut kebesaran Sidayu hingga kini masih menjadi misteri. Sebab, tak ada literatur atau pun bukti sejarah lain yang bisa menjelaskan proses runtuhnya kadipaten Sidayu sampai sebelum menjadi bagian wilayah kabupten Gresik. "Terutama bukti-bukti yang menerangkan tentang peristiwa penyerangan hingga perkembangan Sidayu pasca runtuhnya peradaban itu," ujar Thoha.
Yang cukup adalah hilangnya banyak bukti sejarah kejayaan Sidayu. Seperti di Sidagaran, banyak bukti sejarah kejayaan perekonomian di sana yang hilang. Atau, telaga Rambit yang dulu menjadi sumber air warga Sidayu, kondisinya makin memprihatinkan. (ris/yad/ruk) - jawapos.co.id/minggu 16 mei 2010
Menurut sejarawan Gresik M Thoha, Sidayu dulunya adalah sebuah kadipaten pada masa pemerintahan kerajaan Mataram. Awal berdirinya diperkirakan pada tahun 1675.
Dalam perkembangannya, Sidayu memiliki hubungan erat dengan Surowiti (kini salah satu desa di kecamatan) Panceng. "Dulu, tokoh-tokoh dari Surowiti merupakan para pelindung kanjeng Sepuh Sidayu. Berbagai aspek menjadi bukti sahih jika Sidayu adalah bagian dari kerajaan Mataram," katanya.
Salah satu bukti sejarah itu adalah struktur tata kota yang mengadopsi kerajaan Mataram. Beberapa fasilitas sudah tersedia di sana. Mulai dari alun-alun yang luas, lantas ada masjid di sebelah alun-alun, hingga adanya kampung kauman di sekitar alun-alun dan masjid. "Konsep penataan kota itu persis dengan Mataram," kata Thoha.
Selain itu, kata Thoha, Sidayu juga memiliki kawasan bisnis. Yakni di Sidagaran (kini menjadi sebuah nama desa). Di sanalah, tempat berkumpulnya para pelaku bisnis zaman itu. Belum termasuk keberadaan pelabuhan Srowo. Sehingga, pada masa itu, perekonomian di kadipaten Sidayu sangat mapan.
Seiring berjalannya sejarah, pada pertengahan abad 18, peradaban Kadipaten Sidayu runtuh. Yakni semenjak penyerbuan terhadap Kanjeng Sepuh Sedayu oleh tentara asing.
Seiring perkembangan waktu, perubahan pun terjadi. Gresik yang dulunya adalah bagian dari kabupaten Surabaya, akhirnya berubah menjadi kabupaten sendiri. "Dan Sidayu pun masuk menjadi bagian dari kabupaten Gresik," katanya.
Hanya saja, tetap saja sejarah runtut kebesaran Sidayu hingga kini masih menjadi misteri. Sebab, tak ada literatur atau pun bukti sejarah lain yang bisa menjelaskan proses runtuhnya kadipaten Sidayu sampai sebelum menjadi bagian wilayah kabupten Gresik. "Terutama bukti-bukti yang menerangkan tentang peristiwa penyerangan hingga perkembangan Sidayu pasca runtuhnya peradaban itu," ujar Thoha.
Yang cukup adalah hilangnya banyak bukti sejarah kejayaan Sidayu. Seperti di Sidagaran, banyak bukti sejarah kejayaan perekonomian di sana yang hilang. Atau, telaga Rambit yang dulu menjadi sumber air warga Sidayu, kondisinya makin memprihatinkan. (ris/yad/ruk) - jawapos.co.id/minggu 16 mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar